Selasa, 12 November 2013

KOMPARASI FALSAFAH ILMU ISLAM, KOMUNIS, DAN KAPITALIS (1)


Filsafat merupakan cikal bakal atau induk dari ilmu pengetahuan, juga merupakan metode berpikir (method of thought). Karena inti dari filsafat adalah berpikir, yakni berpikir yang kritis, rasional, analitis, sistematis, dan radikal, maka banyak hal yang dijumpai dan dihadapi manusia yang perlu ditanyakan, diragukan, dan kemudian dipikirkan (Maksum, 2008). Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam filsafat menyangkut Tuhan, alam semesta, dan manusia yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran.

Istilah philosophia pertama kali digunakan oleh Pythagoras (sekitar abad ke-6 SM). Secara terminologis (istilah), terdapat banyak definisi tentang pengertian filsafat, yang menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih  sudut pandang dalam memikirkan filsafat. Berikut ini beberapa definisi filsafat dari beberapa filsuf dan ahli filsafat.
  • Para filsuf pra-Socrates, filsafat adalah ilmu yang berrupaya untuk memahami hakikat alam dan realitas dengan mengandalkan akal budi
  • Plato, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni, ia juga mengatakan  bahw afilsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir daris egala sesuatu yang ada
  • Aristoteles, filsafat adalah lmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab dari realitas yang ada.
  • Rene Descartes, filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam, dan manusia.
Dari serangkaian definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat adalah proses berpikir secara radikal, sistematik, dan universal terhadap segala yang ada dan mungkin ada. Dengan kata lain, filsafat berarti berpikir secara radikal (mendasar, mendalam, sampai ke akar-akarnya), sistematik (teratur, runtut, logis, dan tidak serampangan) untuk mencari kebenaran universal (umum, terintegral, dan tidak khsuus serta tidak parsial). Cabang dari ilmu filsafat adalah epistemology dan ontology.

Epistemologi
Secara sederhana bisa dimaknai teori pengetahuan, sehingga pertanyaan-pertanyaan seperti “mungkinkah mengetahui, apa itu pengetahuan, dan bagaimana mendapatkan pengetahuan”, merupakan tema-tema pembahasan epistemologi. Menurut Milton D. Hunnex, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episçmç yang bermakna knowledge, pengetahuan, dan logos yang bermakna teori. Istilah ini pertama kali digunakan pada tahun 1854 oleh J.F. Ferrier yang membuat perbedaan antara dua cabang filsafat yaitu ontologi (Yunani: on = being, wujud, apa + logos = teori) dan epistemologi. Jika ontologi mengkaji tentang wujud, hakikat, dan metafisika, maka epistemologi membandingkan kajian sistematik terhadap sifat, sumber, dan validitas pengetahuan. Menurut Mulyadhi Kartanegara, ada dua pertanyaan yang tidak bisa dilepaskan dari epistemologi, yaitu: (1) apa yang dapat diketahui dan (2) bagaimana mengetahuinya. Yang pertama mengacu pada teori dan isi ilmu, sedangkan yang kedua pada metodologi. Sehingga kajian epistemologi menjadi penting untuk dilakukan mengingat saat ini sudah menyebar apa yang disebut oleh Syamsuddin Arif, “kanker epistemologis”. Kanker jenis ini telah melumpuhkan kemampuan menilai (critical power) serta mengakibatkan kegagalan akal (intellectual failure), yang pada gilirannya mengerogoti keyakinan dan keimanan, dan akhirnya menyebabkan kekufuran. Gejala dari orang yang mengidap kanker ini, di antaranya suka berkata: “Di dunia ini, kita tidak pernah tahu Kebenaran Absolut. Yang kita tahu hanyalah kebenaran dengan “k” kecil.”“Kebenaran itu relatif.”“Agama itu mutlak, sedang pemikiran keagamaan relatif.”“Semua agama benar dalam posisi dan porsinya masing-masing.”dan lain-lain.

Mungkinkah Mengetahui?
Pertanyaan itu sudah mengemuka dari sejak zaman Yunani kuno.Pada zaman ini lahir aliran yang bernama sofisme (السوفسطائية).Menurut kaum sofis, semua kebenaran relatif. Ukuran kebenaran itu manusia (man is the measure of all things). Karena manusia berbeda-beda, jadi kebenaran pun berbeda-beda tergantung manusianya.Menurut anda mungkin benar, tetapi menurut saya tidak, demikian kurang lebih argumentasi kaum sofis.Akibatnya, mudah diterka, terjadi semacam kekacauan kebenaran.Semua teori sains diragukan, semua aqidah dan kaidah agama dicurigai.Manusia menjadi hidup tanpa pegangan “kebenaran”, dan hal seperti itu telah menyebabkan manusia terasing di dunianya sendiri.

Maka kemudian, muncullah Socrates, yang jejaknya diikuti oleh Plato dan Aristoteles.Menurut mereka tidak semua kebenaran relatif, ada kebenaran yang umum, yang mutlak benar bagi siapapun.Kebenaran ini disebut idea oleh Plato, dan definisi oleh Aristoteles. Sofisme klasik ini kemudian berreinkarnasi (terlahir kembali) pada zaman modern dengan nama skeptisisme. Seseorang yang skeptis akan senantiasa meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Baginya, semua pendapat tentang semua perkara (termasuk yang qath’i dalam agama) harus selalu terbuka untuk diperdebatkan. Pada tahap ekstrem dia akan mengklaim bahwa kebenaran hanya bisa dicari dan didekati, tetapi mustahil ditemukan.

Wujud lain dari sofisme modern adalah relativisme. Pengidap relativisme epistemologis menganggap semua orang dan golongan sama-sama benar, semua pendapat (agama, aliran, sekte, kelompok, dan lain sebagainya) sama benarnya, tergantung dari sudut pandang masing-masing. Jika seorang skeptis menolak semua klaim kebenaran, maka seorang relativis menerima dan menganggap semuanya benar.Aliran ini yang kemudian berkembang menjadi paham pluralisme agama.

Islam tentu saja menentang paham sofisme dengan segala macam bentuk reinkarnasinya. Dari sejak awal surat, al-Qur`an mengajarkan agar manusia mencari kebenaran, karena kebenaran itu ada, dan kesalahan pun beserta orang-orang yang salahnya juga ada.

Dalam awal surat al-Baqarah, lagi-lagi al-Qur`an menolak paham relativisme:
“Alif laam miim, Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.”
Nabi Muhammad saw, sebagai insan biasa, yang terkadang ragu dengan propaganda sofisme dari musuh-musuhnya pun diingatkan Allah swt:
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.”
Artinya, kebenaran itu ada, sumbernya dari Tuhanmu, yakni yang disampaikannya kepadamu melalui wahyu.Jadi jangan pernah bersikap sofis, karena pegangan kebenaran jelas dan ada, yakni wahyu. Sebagai bukti lain bahwa Islam memerangi sofisme, Islam mewajibkan pencarian ilmu pengetahuan. Nabi Muhammad saw menegaskan dalam sebuah hadits yang terkenal: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim”

Hadits-hadits dan ayat-ayat lainnya yang mengutamakan ilmu, semuanya menolak mentah-mentah paham sofisme, skeptisisme, relativisme, dan semua bentuk reinkarnasinya.

Dalam berbagai tempat Allah swt juga suka mengingatkan bahwa dalam hidup ini akan selalu ada dua pilihan; haqq dan bathil, benar (shawab) dan keliru (khatha`), sejati (shadiq) dan palsu (kadzib), baik (thayyib) dan busuk (khabits), bagus (hasanah) dan jelek (sayyi`ah), lurus (hidayah) dan tersesat (dlalalah). Semuanya itu mengajarkan nilai kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan mungkin untuk diraih.

Terkait dengan adanya ikhtilaf di antara ulama yang sering dijadikan pembenar bahwa tidak ada kebenaran yang pasti, maka tentu harus dibedakan dulu mana yang qath’i dan mana yang zhanni, mana yang ushul dan mana yang furu’.Karena pastinya para ulama tidak mungkin berikhtilaf dalam masalah yang ushul dan qath’i.Kalaupun masih ada juga yang berbeda dalam kedua masalah tersebut, maka itulah orang-orang yang masuk kategori sayyi`ah dan dlalalah. Jika pemikir seperti Socrates, Plato dan Aristoteles saja mengakui adanya kebenaran yang bersifat umum, maka sangat aneh jika para ulama yang terbimbing dengan al-Qur`an dan sunnah tidak mengakui adanya kebenaran tersebut. Padahal, al-Qur`an dan sunnah dengan sangat jelas telah memberikan bimbingan dalam masalah tersebut.

Bagaimana Kita Bisa Mengetahui?
Ilmu diperoleh oleh manusia dengan berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai alat. Menurut Jujun S. Suriasumantri, pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio, dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman.Yang pertama disebut paham rasionalisme, dan yang kedua disebut paham empirisme.Pengetahuan jenis pertama disebut logis, dan pengetahuan jenis kedua disebut empiris.

Kerjasama rasionalisme dan empirisme melahirkan metode sains (scientific method), dan dari metode ini lahirlah pengetahuan sains (scientific knowledge) yang dalam bahasa Indonesia sering disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Pengetahuan sains ini adalah jenis pengetahuan yang logis dan memiliki bukti empiris.Jadi tidak hanya logis saja yang menjadi andalan kaum rasionalis, tapi juga harus empiris yang menjadi andalan kaum empiris. Kalau ternyata pengetahuan tersebut hanya bersifat logis, tidak empiris, pengetahuan tersebut akan disebut pengetahuan filsafat, bukan pengetahuan sains/ilmiah.

Kerjasama dari rasionalisme-empirisme ini kemudian melahirkan paham positivisme, yakni paham yang menyatakan bahwa segala pengetahuan yang ilmiah harus dan pasti dapat “terukur”.Panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat diukur dengan timbangan.

Di samping rasionalisme dan empirisme, masih terdapat cara untuk mendapatkan pengetahuan yang lain. Yang penting dari semua itu, menurut Jujun, adalah intuisi dan wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui proses berpikir yang berliku-liku tiba-tiba saja dia sudah sampai di situ. Inilah yang disebut intuisi.

Sementara wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia.Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutus-Nya di setiap zaman. Menurut Jujun, agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan manusia sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transendental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti. Pengetahuan ini didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal yang gaib (supernatural). Akan tetapi pengetahuan jenis ini banyak tidak diakui oleh para ilmuwan yang kurang berpihak pada agama, seiring dibatasinya pengetahuan ilmiah pada logis-empiris.

Menurut Ahmad Tafsir, terdapat aliran lain yang mirip sekali dengan intuisionisme, yaitu iluminasionisme. Aliran ini berkembang di kalangan tokoh-tokoh agama; di dalam Islam disebut teori kasyf. Teori ini menyatakan bahwa manusia yang hatinya telah bersih, maka ia telah siap dan sanggup menerima pengetahuan dari Tuhan. Aliran ini lebih terfokus pada ilhâm yang diturunkan Allah swt kepada manusia. Menurut Ahmad Tafsir, aliran ini terbentang juga di dalam sejarah pemikiran Islam, boleh dikatakan dari sejak awal dan memuncak pada Mulla Shadra.

Jika kita menilik pemikiran para ulama Islam tentang sumber pengetahuan, akan didapati bahwa di antara mereka tidak ada yang hanya membatasi pada salah satu dari empat saluran pengetahuan sebagaimana dijelaskan Jujun di atas. Tidak seperti halnya di dunia Barat yang membatasi keilmiahan pada logis-empiris saja misalnya, dalam khazanah pemikiran Islam aliran semacam itu hampir tidak ditemukan.