Filsafat merupakan cikal bakal atau induk dari ilmu
pengetahuan, juga merupakan metode berpikir (method of thought). Karena inti
dari filsafat adalah berpikir, yakni berpikir yang kritis, rasional, analitis,
sistematis, dan radikal, maka banyak hal yang dijumpai dan dihadapi manusia
yang perlu ditanyakan, diragukan, dan kemudian dipikirkan (Maksum, 2008). Pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan dalam filsafat menyangkut Tuhan, alam semesta, dan manusia yang
bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran.
Istilah philosophia pertama kali digunakan oleh
Pythagoras (sekitar abad ke-6 SM). Secara terminologis (istilah), terdapat
banyak definisi tentang pengertian filsafat, yang menunjukkan bahwa manusia
memiliki kebebasan untuk memilih sudut
pandang dalam memikirkan filsafat. Berikut ini beberapa definisi filsafat dari
beberapa filsuf dan ahli filsafat.
- Para filsuf pra-Socrates, filsafat adalah ilmu
yang berrupaya untuk memahami hakikat alam dan realitas dengan
mengandalkan akal budi
- Plato, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni, ia juga mengatakan bahw afilsafat adalah penyelidikan
tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir daris egala sesuatu
yang ada
- Aristoteles, filsafat adalah lmu pengetahuan
yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab
dari realitas yang ada.
- Rene Descartes, filsafat adalah himpunan dari
segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan,
alam, dan manusia.
Dari serangkaian definisi di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa filsafat adalah proses berpikir secara radikal, sistematik,
dan universal terhadap segala yang ada dan mungkin ada. Dengan kata lain, filsafat
berarti berpikir secara radikal (mendasar, mendalam, sampai ke akar-akarnya),
sistematik (teratur, runtut, logis, dan tidak serampangan) untuk mencari
kebenaran universal (umum, terintegral, dan tidak khsuus serta tidak parsial).
Cabang dari ilmu filsafat adalah epistemology dan ontology.
Epistemologi
Secara sederhana bisa dimaknai teori pengetahuan, sehingga
pertanyaan-pertanyaan seperti “mungkinkah mengetahui, apa itu pengetahuan, dan
bagaimana mendapatkan pengetahuan”, merupakan tema-tema pembahasan
epistemologi. Menurut Milton D. Hunnex, epistemologi berasal dari bahasa
Yunani, episçmç yang bermakna
knowledge, pengetahuan, dan logos yang bermakna teori. Istilah ini pertama kali
digunakan pada tahun 1854 oleh J.F. Ferrier yang membuat perbedaan antara dua
cabang filsafat yaitu ontologi (Yunani:
on = being, wujud, apa + logos =
teori) dan epistemologi. Jika ontologi mengkaji tentang wujud, hakikat, dan
metafisika, maka epistemologi membandingkan kajian sistematik terhadap sifat,
sumber, dan validitas pengetahuan. Menurut Mulyadhi Kartanegara, ada dua
pertanyaan yang tidak bisa dilepaskan dari epistemologi, yaitu: (1) apa yang
dapat diketahui dan (2) bagaimana mengetahuinya. Yang pertama mengacu pada
teori dan isi ilmu, sedangkan yang kedua pada metodologi. Sehingga kajian
epistemologi menjadi penting untuk dilakukan mengingat saat ini sudah menyebar
apa yang disebut oleh Syamsuddin Arif, “kanker epistemologis”. Kanker jenis ini
telah melumpuhkan kemampuan menilai (critical
power) serta mengakibatkan kegagalan akal (intellectual failure), yang pada gilirannya mengerogoti keyakinan
dan keimanan, dan akhirnya menyebabkan kekufuran. Gejala dari orang yang
mengidap kanker ini, di antaranya suka berkata: “Di dunia ini, kita tidak
pernah tahu Kebenaran Absolut. Yang kita tahu hanyalah kebenaran dengan “k”
kecil.”“Kebenaran itu relatif.”“Agama itu mutlak, sedang pemikiran keagamaan
relatif.”“Semua agama benar dalam posisi dan porsinya masing-masing.”dan
lain-lain.
Mungkinkah Mengetahui?
Pertanyaan itu
sudah mengemuka dari sejak zaman Yunani kuno.Pada zaman ini lahir aliran yang
bernama sofisme (السوفسطائية).Menurut kaum sofis, semua kebenaran relatif. Ukuran kebenaran
itu manusia (man is the measure of all
things). Karena manusia berbeda-beda, jadi kebenaran pun berbeda-beda
tergantung manusianya.Menurut anda mungkin benar, tetapi menurut saya tidak,
demikian kurang lebih argumentasi kaum sofis.Akibatnya, mudah diterka, terjadi
semacam kekacauan kebenaran.Semua teori sains diragukan, semua aqidah dan
kaidah agama dicurigai.Manusia menjadi hidup tanpa pegangan “kebenaran”, dan
hal seperti itu telah menyebabkan manusia terasing di dunianya sendiri.
Maka
kemudian, muncullah Socrates, yang jejaknya diikuti oleh Plato dan
Aristoteles.Menurut mereka tidak semua kebenaran relatif, ada kebenaran yang
umum, yang mutlak benar bagi siapapun.Kebenaran ini disebut idea oleh Plato,
dan definisi oleh Aristoteles. Sofisme klasik ini kemudian
berreinkarnasi (terlahir kembali) pada zaman modern dengan nama skeptisisme.
Seseorang yang skeptis akan senantiasa meragukan kebenaran dan membenarkan
keraguan. Baginya, semua pendapat tentang semua perkara (termasuk yang qath’i
dalam agama) harus selalu terbuka untuk diperdebatkan. Pada tahap ekstrem dia
akan mengklaim bahwa kebenaran hanya bisa dicari dan didekati, tetapi mustahil
ditemukan.
Wujud lain dari
sofisme modern adalah relativisme. Pengidap relativisme epistemologis
menganggap semua orang dan golongan sama-sama benar, semua pendapat (agama,
aliran, sekte, kelompok, dan lain sebagainya) sama benarnya, tergantung dari
sudut pandang masing-masing. Jika seorang skeptis menolak semua klaim
kebenaran, maka seorang relativis menerima dan menganggap semuanya benar.Aliran
ini yang kemudian berkembang menjadi paham pluralisme agama.
Islam tentu saja menentang paham sofisme dengan segala macam bentuk reinkarnasinya. Dari sejak awal surat, al-Qur`an mengajarkan agar manusia mencari kebenaran, karena kebenaran itu ada, dan kesalahan pun beserta orang-orang yang salahnya juga ada.
Dalam awal surat
al-Baqarah, lagi-lagi al-Qur`an menolak paham relativisme:
“Alif
laam miim, Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa.”
Nabi Muhammad
saw, sebagai insan biasa, yang terkadang ragu dengan propaganda sofisme dari
musuh-musuhnya pun diingatkan Allah swt:
“Kebenaran
itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang
yang ragu.”
Artinya,
kebenaran itu ada, sumbernya dari Tuhanmu, yakni yang disampaikannya kepadamu melalui
wahyu.Jadi jangan pernah bersikap sofis, karena pegangan kebenaran jelas dan
ada, yakni wahyu. Sebagai bukti lain bahwa Islam memerangi sofisme, Islam
mewajibkan pencarian ilmu pengetahuan. Nabi Muhammad saw menegaskan dalam
sebuah hadits yang terkenal: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim”
Hadits-hadits
dan ayat-ayat lainnya yang mengutamakan ilmu, semuanya menolak mentah-mentah
paham sofisme, skeptisisme, relativisme, dan semua bentuk reinkarnasinya.
Dalam berbagai tempat Allah swt juga suka mengingatkan bahwa dalam hidup ini akan selalu ada dua pilihan; haqq dan bathil, benar (shawab) dan keliru (khatha`), sejati (shadiq) dan palsu (kadzib), baik (thayyib) dan busuk (khabits), bagus (hasanah) dan jelek (sayyi`ah), lurus (hidayah) dan tersesat (dlalalah). Semuanya itu mengajarkan nilai kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan mungkin untuk diraih.
Terkait dengan
adanya ikhtilaf di antara ulama yang sering dijadikan pembenar bahwa tidak ada
kebenaran yang pasti, maka tentu harus dibedakan dulu mana yang qath’i dan mana
yang zhanni, mana yang ushul dan mana yang furu’.Karena pastinya para ulama
tidak mungkin berikhtilaf dalam masalah yang ushul dan qath’i.Kalaupun masih
ada juga yang berbeda dalam kedua masalah tersebut, maka itulah orang-orang
yang masuk kategori sayyi`ah dan dlalalah. Jika pemikir seperti Socrates, Plato dan Aristoteles saja
mengakui adanya kebenaran yang bersifat umum, maka sangat aneh jika para ulama
yang terbimbing dengan al-Qur`an dan sunnah tidak mengakui adanya kebenaran tersebut.
Padahal, al-Qur`an dan sunnah dengan sangat jelas telah memberikan bimbingan
dalam masalah tersebut.
Bagaimana Kita Bisa Mengetahui?
Ilmu diperoleh
oleh manusia dengan berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai alat. Menurut
Jujun S. Suriasumantri, pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi manusia
untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri
kepada rasio, dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman.Yang pertama
disebut paham rasionalisme, dan yang kedua disebut paham
empirisme.Pengetahuan jenis pertama disebut logis, dan pengetahuan jenis kedua
disebut empiris.
Kerjasama
rasionalisme dan empirisme melahirkan metode sains (scientific method), dan
dari metode ini lahirlah pengetahuan sains (scientific knowledge) yang dalam
bahasa Indonesia sering disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan.
Pengetahuan sains ini adalah jenis pengetahuan yang logis dan memiliki bukti
empiris.Jadi tidak hanya logis saja yang menjadi andalan kaum rasionalis, tapi
juga harus empiris yang menjadi andalan kaum empiris. Kalau ternyata
pengetahuan tersebut hanya bersifat logis, tidak empiris, pengetahuan tersebut
akan disebut pengetahuan filsafat, bukan pengetahuan sains/ilmiah.
Kerjasama dari
rasionalisme-empirisme ini kemudian melahirkan paham positivisme, yakni paham
yang menyatakan bahwa segala pengetahuan yang ilmiah harus dan pasti dapat
“terukur”.Panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat
diukur dengan timbangan.
Di samping
rasionalisme dan empirisme, masih terdapat cara untuk mendapatkan pengetahuan
yang lain. Yang penting dari semua itu, menurut Jujun, adalah intuisi dan
wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui
proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada
suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut.
Tanpa melalui proses berpikir yang berliku-liku tiba-tiba saja dia sudah sampai
di situ. Inilah yang disebut intuisi.
Sementara
wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada
manusia.Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutus-Nya di setiap
zaman. Menurut Jujun, agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan
manusia sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup
masalah-masalah yang bersifat transendental seperti latar belakang penciptaan
manusia dan hari kemudian di akhirat nanti. Pengetahuan ini didasarkan kepada
kepercayaan akan hal-hal yang gaib (supernatural). Akan tetapi pengetahuan
jenis ini banyak tidak diakui oleh para ilmuwan yang kurang berpihak pada
agama, seiring dibatasinya pengetahuan ilmiah pada logis-empiris.
Menurut
Ahmad Tafsir, terdapat aliran lain yang mirip sekali dengan intuisionisme, yaitu
iluminasionisme. Aliran ini berkembang di kalangan tokoh-tokoh agama; di dalam
Islam disebut teori kasyf. Teori ini menyatakan bahwa manusia yang hatinya
telah bersih, maka ia telah siap dan sanggup menerima pengetahuan dari Tuhan.
Aliran ini lebih terfokus pada ilhâm yang diturunkan Allah swt kepada manusia.
Menurut Ahmad Tafsir, aliran ini terbentang juga di dalam sejarah pemikiran
Islam, boleh dikatakan dari sejak awal dan memuncak pada Mulla Shadra.
Jika kita menilik pemikiran para ulama Islam tentang sumber pengetahuan,
akan didapati bahwa di antara mereka tidak ada yang hanya membatasi pada salah
satu dari empat saluran pengetahuan sebagaimana dijelaskan Jujun di atas. Tidak
seperti halnya di dunia Barat yang membatasi keilmiahan pada logis-empiris saja
misalnya, dalam khazanah pemikiran Islam aliran semacam itu hampir tidak
ditemukan.